Monday, May 25, 2009

KETIKA JIWA-JIWA DAN MALAIKAT MENANGIS

KETIKA JIWA-JIWA DAN MALAIKAT MENANGIS
Abdi Sumaithi


Ketika lisan mengalami kerusakan, maka akibat pastinya adalah meluncurnya produk lisan yang membahayakan orisinalitas jiwa manusia. Baik jiwa orang yang mengeluarkannya atau pun jiwa yang menangkapnya. Selanjutnya, kesadaran azali kita, seperti ketika kita di tanya oleh Sang Pencipta di alam azali, “Apakah aku Rabb kalian?” dan kita menjawab, “Benar”, akan menjadi rusak pula karena diperkosa oleh berbagai produk lisan yang menggencetnya. Akibatnya jiwa pun menangis karenanya. Sebab jiwa pada dasarnya/secara orisinil senantiasa cenderung mencari ketenangan, rasa nyaman dan kepuasan.

Kecenderungan itu akan menuntut pencarian pada segala sesuatu di luar dirinya yang mampu menjaga dan berkesesuaian dengan orisinalitas jiwa. Oleh karena itu, jiwa-jiwa pun akan menjerit bila dibombardir oleh produk lisan yang buruk sebab hal itu sangat bertentangan dengan kecenderungannya. Jika interaksi jiwa dengan produk lisan yang buruk berlangsung secara terus menerus, maka orisinalitas jiwa akan tergerus sedikit demi sedikit yang pada akhirnya akan melahirkan insensifitas yang mengancam keselamatannya. Lebih parah jika sampai pada tingkat kesadaran azalinya terbenam oleh ingar-bingar produk lisan.

Sesungguhnya di dalam hati manusia sudah tertanam percikan sifat-sifat “Illahiah”, sifat-sifat maha mulia Allah Swt, telah bersemayam. Dapat dikatakan, semua yang hak, terindah, dan terbaik bersarang di dalamnya. Melalui pemeliharaan yang serius hati manusia bisa terang benderang, bercahaya dengan cahaya dari sifat-sifat- Nya Yang Maha Mulia, Yang Maha Agung, dan Maha sempurna. Medium pemeliharaaan yang paling efektif adalah dengan makrifat, yakni ilmu-ilmu yang berakar pada tauhid, mengesakan Allah Swt.

Selanjutnya dengan makrifat yang terus mekar di hati, cahaya kebesaran Allah, keindahan, dan keagunganNya akan terus memancar. Kesadaran batinnya tentang yang benar dan salah akan selalu hidup. Dengan cahaya itu ia dapat menagkap kemahamuliaan Allah Swt, mengambil dan mengamalkan segala kehendak-Nya, dan melakukan segala sesuatu yang membawa manfaat, serta menjauhi sejauh-jauhnya segala yang membawa madarat. Memang hati menjadi pusat kebaikan, ketenangan, kedamaian, kesehatan, dan kebahagiaan hakiki.

Hati yang jernih dan sehat melahirkan pikiran-pikiran yang jernih dan pada akhirnya melahirkan tindakan-tindakan mulia berdasarkan suara hati nurani yang bening. Socrates mengidentikkan suara hati dengan suara peringatan batin yang diaanggapnya berasal dari Allah. Filosof lain menyebutnya sebagai percikan ilahi yang mampu menyediakan pedoman dalam kehidupan.

Kejernihan hati dapat menjadikan manusia menjadi mampu berpikir positif, betindak bijak, cerdas, dan berbagai sifat-sifat mulia. Dengan hati yang jernih, kita dapat menjalani kehidupan dengan lebih
produktif untuk meraih kemuliaan hakiki. Sebab, seperti dikemukakan para pemikir, manusia yang suara hatinya jernih karena berada dalam wadah hati yang jernih merupakan fakultas akal yang mampu membedakan yang benar dan yang salah.

Akan tetapi hati tidak akan dapat dijernihkan dengan cahaya ilahiah jika ia teralingi oleh nafsu duniawi dan ternodai oleh maksiat. Kecerahannya ditentukan oleh ketulusannya dalam mempersembahkan dirinya kepada Allah yang merupakan tujuan awal bagi manusia dan kesaksian zalinya.

Ibnu ’Atha`illah dalam al-Hikam mengattakan, ”Bagaimana hati dapat bersinar sementara bayang-bayang dunia terlukis dalam cerminnya? Atau, bagaimana hati dapat berangkat menuju Allah sedangkan ia masih terbelenggu oleh syahwatnya? Atau, bagaimana hati akan antusias menghadap hadirat-Nya jika ia belum suci dari ”janabah” kelalaiannya? Atau, bagaimana hati mampu memahami kedalaman rahasia-rahasia sedangkan ia belum bertaubat dari kesalahannya? .

Lebih dari itu hati adalah kunci hubungan manusia dengan Tuhannya dikarenakan ia tempat bersemayamnya iman. Hati juga menjadi kunci hubungan dengan sesama manusia. Bahkan ia adalah sumber kesehatan fisik, kekuatan mental, dan kecerdasan emosional. Dalam kajian sufi hati menyimpan kecerdasan dan sekaligus kearifan yang terdalam bagi manusia. Ia adalah lokus makrifat, genosis, atau pengetahuan spiritual. Dalam sebuah riwayat Rasulullah Saw bersabda, ”Sesungguhnya hati seorang mukmin mampu memuat segala sesuatu yang tidaka dapat dimuat oleh langit dan bumi.”

Oleh sebab posisi hati adalah terminal yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya, dan alam, maka kejernihan hati dapat menjadikan hubungan itu sehat, baik, dan konstruktif. Hubungan dengan Tuhannya akan penuh ketundukan dan kecintaan. Hubungan dengan sesamanya akan mengedepankan kasih sayang, kejujuran, kebersamaan dan saling menghormati sehingga menghadirkan kedamaian dan kebahagiaan. Hubungan dengan alam dan lingkungannya dengan etik yang menyebabkan tidak menimbulkan kerusakan.

Begitulah posisi strategis hati sangat menentukan kemanausiaan seseorang. Dalam sebuah hadits yang sangat masyhur Rasulullah Saw bersabda, "Ingatlah sesungguhnya pada jasad itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan apabila ia rusak maka rusak pulalah seluruh jasad. Ingatlah, ia adalah hati."

Oleh sebab itu jika hati rusak maka seluruh tata hubungan menjadi rusak pula yang menyebabkan malaikat pun menangis. Dalam kitab al-Tadzkirah fi Ahwal al-Maut wa Umur al-Akhirah, Imam al-Qurthubi mengutip sebuah riwayat dari Imam al-Zuhri, Wahab bin Munabbih, dan lain-lainnya. Dalam riwayat itu diceritakan bahwa ketika itu Allah mengutus malaikat Jibril untuk membawakan tanah kepada – Nya.
Ketika diambil oleh Jibril, tanah memohon perlindungan kepada Allah dari Jibril, sehingga Jibril tidak jadi membawanya. Hal yang sama juga terjadi pada Malaikat kedua yang diutus. Akan tetapi, tidak demikian halnya pada malaikat yang ketiga. Ia justru berhasil membawakan tanah kepada Allah swt. Lalu Allah bertanya kepadanya, ”Apakah tanah itu tidak memohon perlindungan kepada- Ku dari kamu ?” Malaikat menjawab, ”Ya”. Allah bertanya lagi, ” Kenapa kamu tidak merasa kasihan kepadanya, seperti kedua tanganmu?”. Malaikat menjawab, ”Aku lebih mengutamakan taat kepada Engkau dari pada mengasihaninya (tanah)”. Allah berfirman, ”Pergilah! Kamu adalah malaikat maut, yang aku beri kuasa untuk mencabut nyawa seluruh makhluk ”. Mendengar itu, malaikat menangis. Kemudian Allah bertanya lagi, ”Kenapa kamu menangis?” Malaikat pun menjawab : ” Ya Tuhan, dari tanah ini Engkau ciptakan para nabi dan makhluk pilihan lainnya. Dan, Engkau tidak menciptakan makhluk yang lebih mereka benci daripada kematian. Jika mereka mengenali aku, mereka pasti membenci dan mencaci maki aku”. Wallahu A’lam

No comments:

Post a Comment